Pukul dua belas dini hari. Nyamuk-nyamuk ramai mengigiti kaki Rana sejak tadi, namun Rana bertahan di depan komputernya, membuka salah satu situs jejaring sosial sejak dua jam yang lalu. Rana berpindah dari satu halaman ke halaman lainnya, meng-klik link-link yang ada, tapi berputar-putar pada profil orang-orang yang itu-itu saja.
Yang sebenarnya Rana galau. Karena apa dia tidak tahu pasti, tapi rasa galaunya itu takkan membaik jika dia belum tahu siapa, seperti apa orang itu. Sejauh mana hubungannya dengan orang yang dulu pernah disayangnya.
Rana tidak tahu bagaimana bisa dan untuk apa rasa itu ada. Yang Rana tahu harusnya itu semua sudah lama musnah. Terkubur, terutup untuk mungkin selamanya. Hatinya kacau. Ada sesuatu yang tak terkatakan berontak di dalam tubuhnya. Rasanya dia ingin pergi ke puncak gunung yang tinggi dan berteriak sekencang-kencangnya pada segenap penghuni hutan. Teriakan yang mungkin hanya bunyi tanpa kata-kata yang jelas, hanya membebaskan bayang-bayang yang masih mengganggu ketenangan hati dan hidupnya.
Dia pikir semakin dia tahu tentang orang yang dia cari, dia akan semakin lega. Nyatanya kini dia seperti kerasukan setan, kacau dan ingin berontak. Mungkin dia belum bisa menerima kenyataan yang seperti dipaksakan. Mungkin waktu dulu dia mematikan cintanya, cinta itu tidak mati, hanya terlelap di relung hati Rana yang paling tersembunyi, gelap, dan dingin. Kini ia kembali bangun dan membalas dendam pada si empunya hati yang mencoba membunuhnya dulu. Padahal Rana pun tahu dia tidak pernah siap untuk itu.
‘Kalau kamu pikir ke depannya bakal susah, lebih baik nggak usah dilanjutkan mulai sekarang. Aku cuma takut, kalau kamu bersikeras jalan terus, kamu yang akan semakin luka nantinya,’ begitu kata Narsha, sahabat terdekat Rana, lebih dari setengah tahun yang lalu, tentang hubungan Rana dengan seorang laki-laki bernama Jo.
‘Iya, aku tahu bagaimana Jo itu. Dia itu selalu membahayakan dirinya sendiri. Dia belum berubah, masih sama seperti waktu aku baru mengenalnya dulu. Rapuh. Tapi begitu juga aku. Hanya saja Jo memang berbahaya. Baginya rindu menyiksanya, dan dia pun bisa saja menyiksa fisiknya untuk melampiaskan,’ Rana menjelaskan.
‘Tapi mau bagaimana lagi, aku dan Jo sudah sama-sama tahu perasaan kita masing-masing. Saling sayang, hanya belum bilang. Kupikir biarpun harus menjalani hubungan jarak jauh dengannya aku rela-rela saja. Tapi kenyataan bahwa dia orang yang seperti itu membuatku takut,’ lanjut Rana.
‘Kamu takut karena jarak jauh yang memisahkan kalian berdua dan tidak adanya kesempatan bertemu malah tidak membuatnya bahagia? Malah membuatnya melukai badannya sendiri, begitu?’ tebak Narsha. Rana mengangguk. ‘Rana, kamu sendiri tahu aku bukan tipe gadis yang suka dengan segala yang manis-manis. Aku tipe yang mendengar musik heavy metal dan emo. Aku tipe yang lebih memilih nonton Saw daripada Titanic. Bagiku hal-hal seperti itu – melukai diri seperti itu – memang sudah tak asing lagi dan itu biasa. Tapi akupun tidak akan tega kalau harus melihat orang yang kusayangi melukai dirinya sendiri cuma gara-gara aku. Lebih baik akhiri saja, dan berdoa saja suatu hari nanti dia akan menemukan orang lain yang akan selalu ada di sisinya. Yang selalu bisa menyediakan waktu untuk bertemu dengannya kapan pun. Yang tak perlu membuatnya menderita begini. Jujur aku juga nggak bisa mendukung kalau kamu memutuskan untuk lanjut.’
Rana tahu betul apa yang dikatakan Narsha benar. Baginya Narsha hanya mengulang kata-kata dari sebelah hatinya yang menjadi sumber kebimbangannya. Dia pun tahu Narsha hanya meyakinkannya bukan memberi solusi, karena jalan pikiran mereka terlalu sama, dan bagi mereka berdua itulah satu-satunya jalan keluar yang terbaik. Berbicara pada Narsha layaknya berbicara sendiri di depan cermin, hanya saja yang ini lebih meyakinkan.
Dan begitulah yang dilakukan Rana. Tak perlu waktu menimbang berhari-hari, pikiran Rana mantap, walaupun hatinya tidak siap. Dan perasaan yang tak sempat terkatakan itu dia kubur hidup-hidup, berharap suatu saat nanti rasa itu akan kehabisan oksigennya, yaitu harapan. Kemudian mati dan lenyap terurai. Rana menjaga jarak dengan Jo. Seperti membangun tembok besar di antara mereka. Namun Rana sendiri tak pernah menyadari bahwa di tembok bangunannya itu masih terdapat kekurangan, sebuah lubang intai amat kecil di tengahnya. Begitu juga Jo.
Tapi Rana tak pernah melihatnya, dan Rana kepalang berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja dan akan datang pelangi setelah hujan badai. Sekali lagi tak perlu Rana menunggu lama. Pelangi itu datang, namanya Dei.
Dei begitu cepat menjadi sosok yang akrab dengan Rana. Terbuka, humoris, santai. Secara fisik, Dei tergolong laki-laki yang bisa membuat sebagian besar perempuan gemas melihatnya. Cute, kata Narsha. Posturnya yang tinggi juga bagus. Dan Dei, yang Rana bilang sangat dandy itu, memang punya selera yang bagus dalam berpenampilan. Walaupun memang, Dei itu cerewet dan banyak maunya seperti perempuan, tapi kalau dia sedang diam saja, pasti akan banyak yang terpesona melihatnya.
Bagi Rana pribadi, Dei bukanlah orang yang disangka-sangka akan menjadi pelangi baginya. Dei sama sekali bukan tipikal favorit Rana untuk ditaksir. Tapi sangat cocok baginya untuk jadi teman. Dei pun pastinya hanya menganggap Rana sebatas teman, walau pun memang caranya memperlakukan Rana kadang dirasa agak lebih. Mungkin itu pula lah yang membuat Rana akhirnya memberinya perhatian lebih.
Dan perlahan-lahan Rana pun mulai menyayangi Dei. Memberinya perhatian-perhatian kecil. Dei yang awalnya muncul sebagai sahabat, mulai mendapat tempat yang lain bagi Rana. Namu Dei tetaplah pribadi yang cuek dan seenaknya, yang memandang Rana tak ubahnya sahabat-sahabatnya yang lain. Maka ketika Dei sepertinya menyadarinya pun, dia agak mendingin. Dan mereka mulai menjauh. Rana lara.
Lara itu mencapai puncaknya pada suatu malam. Rana menangis. Baginya sejarah mungkin akan terulang lagi. Baginya itu hanya siklus yang suatu hari akan kembali lagi ke titik awalnya. Yang Rana butuhkan saat ini hanya seseorang yang bisa menenangkannya. Yang bisa meyakinkan bahwa kesadarannya tentang siklus sejarah itu sepenuhnya salah. Yang bisa menghentikan lara itu. Tapi bukan Dei. Jo.
Ya, entah kenapa yang dia butuhkan malah Jo.
Lubang di tembok itu masih ada. Kini semakin besar menganga. Rana sudah lelah. Rana ingin pulang. Alam bawah sadarnya berkata Jo adalah rumahnya, yang selalu membukakan gerbangnya bagi Rana. Tak perlu lagi Rana mengetuk.
Rasa percaya membawanya kembali pada Jo. Rasa percaya itu mengalahkan harga diri yang akhirnya Rana pertaruhkan untuk kembali. Dia haus, dia lebih dari ingin, dia butuh.
Tapi harusnya waktu itu Rana tidak kembali pada Jo. Karena sebenarnya, Rana memang hanya bisa melewati pagarnya. Pintunya terkunci rapat. Dan ketika Rana merogoh sakunya, kuncinya tidak lagi ada. Rana sudah membuangnya, menguburnya hidup-hidup.
‘Hei,’ sapa Jo lewat chatting waktu itu.
‘Hei juga..,’ jawab Rana.
‘Gimana kabar??’ Jo berbasa-basi. Lebih dari itu, kini percakapan mereka memang basi. Karena semuanya sudah berubah, tak lagi seperti dulu.
‘Yah masih begini-begini saja. Kamu?’
‘Sama.’
Diam beberapa menit.
‘Aku belum cerita ya sama kamu?’ Jo mengetik lagi.
‘Cerita apa?’
‘Soal Lia.’
‘Siapa?’
Kali ini Jo agak lama membalasnya, ‘orang yang aku sayang.’
Gelap. Rana terpaku tercabik. Dulu kata-kata itu harusnya untuknya, namun tak terkatakan. Mengapa kini rasanya Jo begitu mudah mengatakannya di saat Rana membutuhkan Jo yang lama kembali? Rana tidak ingin Jo menceritakan lebih lanjut soal Lia itu, karena dia tahu akan seperti apa jadinya. Tampaknya Jo pun tahu, maka ketika Rana berbicara tentang keadaannya sendiri untuk mengalihkan, Jo pun tidak melanjutkan ceritanya soal Lia.
‘Aku juga belum cerita sama kamu soal Dei.’
‘Dei? Iya. Tapi aku tahu kok.’
‘Tahu dari mana?’
‘Facebook. Kamu lagi dekat sama dia?’
‘Harusnya, tapi ya.. kamu tahu lah. Masalah kan ada saja.’
Agak senang hatinya mengetahui fakta bahwa Jo masih memperhatikan halaman Facebook-nya. Meskipun Rana tidak tahu sampai kapan sebenarnya Jo masih melakukannya.
‘Sudahlah, orang egois seperti dia lebih baik jangan diladeni lagi. Sudahi saja,’ kata Jo.
‘Bicara sih mudah, prakteknya susah.’
‘Tapi bisa.’
‘Nggak. Aku butuh dia.’
‘Buat apa? Kalau ujung-ujungnya cuma bikin susah kenapa masih dipertahankan?’
Gampang benar dia bicara seperti itu, batin Rana.
‘Belajar dari pengalaman,’ Rana mengetik. Agaknya Jo pun mengerti maksudnya.
‘Jadi sekarang apa rencanamu?’
‘Aku mau pulang, Jo. Kamu mengerti itu kan?’
Jo tidak menjawab. Koneksi diputuskan setelah beberapa saat. Rana marah. Tapi apa haknya marah? Toh Jo berlaku seperti tadi itu haknya, akibat dari perbuatan Rana sendiri. Rana menangis.
Kini Rana bolak-balik melihat-lihat halaman demi halaman. Di profil yang sama. Postingan-postingan Jo di profil Lia, postingan-postingan Lia di profil Jo. Rana tidak peduli itu privasi atau apa. Walaupun hubungannya dengan Dei sudah membaik, tapi Rana tahu di suatu tempat di hatinya masih ada yang tidak beres. Ada yang harus diselesaikan dengan Jo.
Kata-kata manis yang Rana kenal, dulu memang untuknya. Sekarang beralih pada Lia. Semakin lama, Rana semakin galau. Mungkin saja Rana hanya merindukan perhatian seperti yang Jo berikan, yang bisa membuatnya merasa penting dan ada. Bukan seperti Dei. Atau mungkin, kemungkinan terburuknya, memang rasa itu masih ada dan yang terjadi antara dirinya dan Dei itu tak pernah ada. Lantas itu apa? Rana semakin pusing. Semakin galau.
Rana menutup jendela browsernya, mematikan komputer, dan bersiap-siap untuk tidur. Di atas ranjangnya Rana terbaring. misteri yang belum terpecahkan itu masih berputar-putar di kepalanya. Rana mencoba menutup lubang di temboknya. Tapi dia tahu, kali ini butuh waktu lama. Sementara itu, sekarang, yang ada hanya galau. Mungkin suatu hari nanti ketika dirinya dan Dei sama-sama menemukan kunci di saku mereka masing-masing, dan tembok itu telah halus tertambal, galau itu akan lenyap. Rana pasrah. Perhalan-lahan Rana menangis.
-fin-
made and finished: 22-23 Januari 2010
Label: poetry, short story